Senin, 23 April 2012

KEHANCURAN BAGHDAD OLEH BANGSA MONGOL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Baghdad merupakan pusat pemerintahan dan peradaban pada masa Bani Abbasiyah. Ibu kota Negara pada awalnya adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun, pada masa khalifah al-Mansyur ibu kota Negara dipindahkan ke kota yang baru didirikannya yaitu kota Baghdad yang terletak di dekat ibu kota Persia, Ctesipon, pada tahun 762 M.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu. Selain itu Baghdad juga sebagai pusat penterjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa Arab. [1]
Semua kemegahan dan keindahan kota Baghdad sekarang hanya tinggal kenangan. Semuanya hancur dan hampir tak tersisa, setelah kota ini di serang dan dibumihanguskan oleh tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pasukan Mongol juga membakar buku-buku yang ada di perpustakaan yang merupakan gudang ilmu pengetahuan.[2]
Sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban, kehancuran Baghdad tentu memberikan dampak yang besar terhadap sejarah umat Islam. Jatuhnya kota Baghdad bukan saja mengakhiri khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari kemunduran umat Islam. Ketika Baghdad hancur berbagai khazanah ilmu pengetahuan yang ada di sana juga ikut lenyap. Dikisahkan bahwa buku-buku yang ada dalam baitul hikmah dibakar dan di buang ke sungai Tigris sehingga airnya berubah yang asal mulanya jernih menjadi hitam karena tinta dari buku-buku tersebut.
B.     Pokok Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana kekhalifahan Bani Abbasiyah sebelum dihancurkan Mongol?
2.      Siapa bangsa Mongol?
3.      Bagaimana bangsa mongol menghancurkan Baghdad?
4.      Apa dampak dari serangan Mongol tersebut terhadap Peradaban Islam?




BAB II
BANI ABBASIYAH SEBELUM SERANGAN MONGOL
Kota Baghdad adalah ibu kota Negara pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Pada masa kejayaannya, kota Baghdad menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada masa khalifah ketiga, al-Mahdi, hingga khalifah kesembilan, al-Watsiq. Namun lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun anaknya[3].
Khalifah al-Makmun membangun perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan tersebut dinamakan dengan Bait al-Hikmah. Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah biasa. Dua di antaranya yang paling penting adalah perguruan Nizhamiyah dan Muntashiriyah.[4]
Syamsul Bakri mengutip dari A. Syalabi, secara umum membagi perkembangan Bani Abbasiyah dalam tiga periode.[5] Periode pertama dari Abul Abbals sampai al-Watsiq, yaitu periode di mana kekuasaan berada di tangan khalifah. Para khalifah pada periode ini adalah ulama yang berijtihad dan mengeluarkan fatwa, pahlawan dan pemimpin militer yang perkasa serta memiliki kecintaan terhadap intelektual. Periode kedua dimulai masa pemerintahan Abu Fadl al-Mutawakkil sampai pertengahan khalifah al-Nashir. Pada masa ini khalifah hanya sebagai simbol, kekuasaan politik mlai berpindah dari khalifah ke tangan orang-orang Turki, kemudian beralih ke tangan golongan Buwaihi, dan kemudian berpindah ke tangan Bani Saljuk. Sultan–sultan kecil sudah memiliki kedaulatan sosial-politik, sedangkan khalifah hanya sebagai jabatan keagamaan yang sakral. Periode ketiga dimulai sejak pertengahan al-Nashir hingga akhir Bani Abbasiyah. Periode ini merupakan masa runtuhnya sultan-sultan kecil dan khalifah sudah memiliki kekuatan kembali hingga akhirnya diserang pasukan Hulagu Khan dari Mongol di era khalifah Abu Ahmad Abdullah al-Mu’tashim.
Bani Abbasiyah mulai mengalami kemunduran ketika pada masa periode kedua, yaitu dimulai ketika masa khalifah Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.      Lemahnya khalifah
Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu. Para khalifah yang sudah merdeka dan berkuasa kembali wilayah kekuasaan mereka sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit menunjukkan kelemahan politiknya.
2.      Persaingan antar bangsa
Khilafah Bani Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Setelah berkuasa, persekutuan itu tetap dipertahankan. Orang-orang Persia masih belum puas dan mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Selain fanatisme karaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Sementara itu, khalifah mengangkat budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi tentara atau pegawai. Hal ini mempertinggi pengaruh mereka terhadap kekhalifahan. Ketika pada masa al-Mutawakkil, seorang khalifah yang dianggap lemah, kekuasaan dikendalikan oleh orang-orang Turki dan khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia , selanjutnya beralih ke tangan dinasti Saljuk.
  1. kemerosotan ekonomi
Bersamaan dengan kemunduran dibidang politik, dinasti Bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi. Penerimaan negara menurun disebabkan makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak kerusuhan yang mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri. Sementara pengeluaran membengkak dikarenakan kehidupan para khalifah dan pejabat yang bermewah-mewahan. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian Negara morat-marit.
  1. konflik keagamaan
Munculnya gerakan Zindiq, yang dilatar belakangi kekecewaan orang-orang Persia, membuat khalifah merasa perlu mendirikan jawatan untuk mengawasi kegiatan orang-orang tersebut dan memberantasnya. Gerakan ini mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Ketika mulai terpojok, mereka berlindung  di balik ajaran Syi’ah. Sehingga banyak aliran Syi’ah yang dianggap ekstrem dan menyimpang. Syi’ah adalah aliran yang dikenal sebagai aliran politik yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Keduanya, sering terjadi konflik yang kadang melibatkan penguasa. Selain itu juga terjadi konflik antar aliran dalam Islam. Seperti konflik antara Mu’tazilah dengan gologan Salaf.[6]
Akibat dari kemunduran dinasti Bani Abbasiyah ini, membuat mereka sangat rentan terhadap serangan dari luar. Lemahnya para khalifah dan tidak adanya persatuan di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara mudah ditembus. Sehingga ketika Mongol menyerang Baghdad, mereka dapat dengan mudah menguasainya tanpa perlawanan yang berarti.
 BAB II
BANGSA MONGOL
Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan (Mongolia) yang membentang dari Asia Tengah sampai Siberia Utara, Tibet Selatan,  dan Mancuria Barat serta Turkistan Timur, bukannya bangsa  nomad stepa. Mereka merupakan salah satu anak rumpun dari bangsa Tartar. Nama Mongol diambil dari nama tempat asal mereka di Mongolia di mana mula-mula mereka tinggal. Sejarawan Cina beranggapan bahwa nama Mongol berasal dari bahasa Cina “Mong” (pemberani).[7] Badri Yatim mengutip dari Ahmad Syalabi menjelasakan bahwa nenek moyang bangsa Mongol bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tartar dan Mongol. Mongol mempunyai anak bernama Il-khan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol dikemudian hari.[8]
Orang Mongol sebagaimana bangsa nomad lain, hidup mengembara berpindah-pindah tempat dan tinggal di tenda-tenda. Kehidupan mereka sangat sederhana, mereka hidup dengan berburu, menggembala domba,  dan budaya perampokan sudah umum dikalangan mereka. Mereka menyembah matahari dan bintang-bintang, sebagian ada yang menganut agama Sammaniyah dan Nestoria. Orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut untuk mencapai keinginannya. Mereka tidak beradab, pejuang, sabar, ahli perang, tahan sakit dari tekanan musuh yang sangat kuat. Akan tetapi, mereka sangat patuh dengan pemimpin atau kepala suku mereka.[9]
Pemimpin Mongol yang paling terkenal adalah Chengis Khan. Ia lahir pada tahun 1162 M di Daeyliun Buldagha, yang terletak di tepi sungai Onon (Unan), Mongolia. Ayahnya bernama Ishujayi dan ibunya bernama Helena Khatun. Ishujayi berhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada pada saat itu. Nama asli dari chengis adalah Temuchin. Pada usia yang masih dini ia telah dinikahkan oleh ayahnya dengan gadis dari Deshai Chan, dari suku Unghir. Ayah Temuchin meninggal karena diracun oleh musuhnya dari suku Tartar yang pernah ia bunuh dalam perang.
Temuchin yang saat itu berusia 13 tahun menggantikan ayahnya sebagai pemimpin suku. Temuchin melatih pasukannya dengan pelatihan yang keras, disiplin ketat, dan penuh semangat. Ia dibantu oleh temannya yang bernama Tugril, yang seterusnya bekerja sama dengan baik  untuk menumpas musuh-musuh yang kuat. Dengan bantuan Tugril, Temuchin berhasil mengalahkan bangsa Tartar. Kemudian ia dapat mengalahkan suku-suku lainnya. Dengan kemenangan yang bertubi-tubi, akhirnya tidak ada suku-suku Mongol lain yang berani menentang.[10]
Pada tahun 1206 M, ia mendapatkan gelar Chengis Khan, Raja Yang Perkasa sebagai pemimpin tertinggi bangsa Mongol. Ia menetapkan undang-undang yang dinamakan Alyasak atau Alyasah, untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Dalam bidang militer ia mulai menata pasukannya dengan baik. Ia membagi pasukannya dalam beberapa kelompok besar-kecil, seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan.
Setelah pasukannya teroganisir dengan baik, Chengis Khan mulai memperluah daerah kekuasaanya dengan menakhlukkan daerah-daerah lain. Peking dapat ia kuasai pada tahun 1215 M. Kemudian ia mengincar negeri-negei Islam. Pada tahun 1209 M ia membawa pasukannya dengan tujuan Turki, Farghana, dan kemudian Samarkand. Mereka mendapat perlawanan yang keras dari penguasa Khawarizm, Sultan Ala al-Din. Karena seimbang, akhirnya masing-masing kembali ke Negerinya. Sepuluh tahun kemudian mereka masuk Bukhara, Samarkan, Khurasan, Hamadhan, sampai ke perbatasaan Irak. Di Bukhra, ibu kota Khawarizm, mereka kembali mendapatkan perlawanan dari Sultan Ala al-Din, namun mereka berhasil mengalahkannya. Di setiap daerah yang mereka lewati, terjadi pembunuhan besar-besaran. Bangunan-bangunan mereka hancurkan dan sekolah-sekolah dibakar.
Setelah meninggal, Chengis Khan membagi wilayahnya kepada empat orang anaknya, yaitu Jochi, Chaghtai, Oghtai, dan Touly. Changtai berusaha menguasai kembali daerah-daerah Islam yang pernah ditakhlukkan dan berhasil menguasai Khawarizm setelah mengalahkan Sultan Jalal al-Din. Saudara Chagtai, Touly menguasai Khurasan. Karena kerajaan Islam sudah terpecah belah, maka dapat dengan mudah ia mengusai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M dan digantikan putranya Hulagu Khan. Hulagu Khan inilah yang nantinya akan menghancurkan Baghdad.


BAB III
KEHANCURAN BAGHDAD OLEH BANGSA MONGOL
Puncak kehancuran baghdad terjadi pada tahun 1258, kehancuran ibukota mengiringi hilangnya hegemoni arab dan berakhirnya sejarah kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Meskipun faktor eksternal, serbuan kaum barbar (dalam kasus ini, Mongol dan Tartar)- begitu dahsyat. Nyatanya Cuma berperan sebagai senjata pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.[11] Faktor internal seperti banyak dijelaskan di bab awal lebih berperan sebagai sebab kehancuran.
Motif Serangan Mongol di Baghdad
1.   Faktor Politik
Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar dibunuh atas persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas dan dijual kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata Mongol. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan dengan pasukannya melakukan penyerangan terhadap wilayah Khawarizmi.[12]
2.      Motif Ekonomi
Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib bangsanya, menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin dan yang belum berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah berperadaban maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.
Pada peristiwa penyerbuan bangsa mongol yang dipimpin oleh Hulagu, cucu Jenghis Khan di Kota Baghdad, selain motivasi invasi dan penaklukan wilayah, penyerbuan ini adalah puncak dari sengketa yang telah dimulai sejak tahun  1212 M (bab awal). Pada bulan safar 656 H / tahun 1253, Hulagu bersama ribuan tentaranya membasmi kelompok pembunuh Hasyasyin dan menyerang kekhalifahan Abbasiyah.[13] Hulagu mengundang Khalifah al-Musta’shim (1242-1258) untuk bekerjasama menghancurkan kelompok Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi undangan itu tidak mendapat jawaban. Pada tahun 1256, sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri induk” di Alamut, telah direbut.
Pada bulan September tahun berikutnya, tatkala merangsek menuju jalan raya Khurasan yang termasyhur, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban.  Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak dengan efektif untuk meruntuhkan tembok ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng.            Dengan hancurnya salah satu menara benteng, semakin melemahkan sisa-sisa kekuatan pasukan Khalifah.  Hingga pada tanggal 10 Februari 1258, pasukan Hulagu telah berhasil memasuki kota.
                Khalifah bersama 300 pejabat dan Qadhi menawarkan penyerahan diri tanpa syarat. Peristiwa ini menurut beberapa sumber sejarah setelah pengkhianatan wazir khalifah Abbasiyah (wazir al-Qami). Setelah menyerahkan hadia dan diri tanpa syarat, 20 Februari (sepuluh hari setelahnya) mereka semua dibunuh. Termasuk Khalifah, keluarga, pejabat, pasukan dan rakyat Dinasti Abbasiyah.  Selama 40 hari pasukan Hulagu membantai, menjarah, memperkosa wanita, membunuh bayi dan ibunya, membakar rumah ibadah dan perpustakaan yang dibangun khalifah dan bangunan – bangunan megah di kota Baghdad.
               Peristiwa ini menjadi sejarah besar dalam peradaban Islam, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia Islam terbengkalai tanpa khalifah. Kekosongan khalifah islam membuat umat muslim pada abad ke-13 terhimpit diantara dua kekuatan besar. Bagian timur umat muslim dihimpit pemanah pasukan mongol yang liar,  dibagian barat dihimpit oleh para pasukan perang salib. 
 
BAB IV
DAMPAK SERANGAN MONGOL TERHADAP PERADABAN ISLAM
Bangsa mongol meninggalkan catatan hitam dalam sejarah peradaban islam. Bangsa mongol memang dikenal sebagai bangsa yang pemberani, keberadaannya, kekejamanya dan kebengisannya mencapai puncak pada masa kepemimpinan Jhengis khan dan beberapa garis keturunan kebawah. Meskipun kesalahan – kesalahan itu sebagian dianggap telah ditebus oleh beberapa keturunannya sebagai pembelah islam dan memberikan energi baru untuk membangkitkan kembali kebudayaan islam. Namun, hancurnya peninggalan – peninggalan sejarah tidak bisa terlupakan.
            Seperti dijelaskan pada bab – bab awal, serangan mongol di negeri islam khususnya di baghdad selain berdampak berakhirnya masa khalifah Abbasiyah, tetapi menjadi awal kemunduran umat islam terlebih khazana ke-ilmuannya. Secara khusus dampak serangan mongol terhadap peradaban islam diantaranya :
3.      politik
kehancuran ibukota baghdad sebagai pusat pemerintahan khalifah Abbasiyah berpengaruh besar terhadap mundurnya peradaban islam. Kekosongan ke-khalifahan melemahkan kekuatan umat islam, bahkan peradaban islam banyak dipandang tenggelam setelah diapit diantara dua kekuatan musuh islam, tentara salib di barat dan pasukan mongol di timur. Namun, anehnya Kota baghdad tidak semuanya dihancurkan, mungkin hulagu bermaksud menjadikan baghdad sebagai tempat kediamannya, sehingga tidak dihancurkan seperti kota—kota lainnya.[14]       Pada rezim Il-Khan atau Hulagu, Baghdad di turunkan posisinya menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq al- Arabi.
4.  sosial
Dampak sosial akibat serangan mongol di ibukota khalifah abbasiyah tidak jauh berbeda dengan kondisi politiknya. Pembunuhan massal, pembantaian bayi, anak, wanita, pemerkosaan, penjarahan. Menjadi catatan hitam umat islam dalam perjalanan sejarah peradaban islam. Kemakmuran yang perna dicapai pada masa khalifah Harun Al-Rasyd dan anaknya tinggal cerita.
5.    Pendidikan dan keilmuan
Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah adalah pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan budaya kecintaan terhadap ilmu terlihat dari besarnya kontribusi ilmuan masa itu terhadap perkembangan keilmuan setelahnya. Pembangunan perpustakaan, tokoh buku, sekolah-sekolah, pusat kajian dan diskusi adalah aktivitas kaum intelektualnya. Pada masa kehancuran kota baghdad sejarah mencatat kisah pemusnahan buku-buku di Baitul Hikma yang sebagiannya di buang di sungai Tigris . Hanya beberapa karya yang sempat diselamatkan. Ibnu Jubayr menyatakan bahwa di Baghdad pada masa itu terdapat sekitar tiga puluh sekolah.[15] salah satu sekolah yang selamat dari malapetaka pemusnahan oleh bangsa Mongol adalah Maadrasah Nizhamiyah dan dari sanalah sejarah dan karya-karya para ilmuan kembali di hidupkan.
6.      Agama
Kehancuran Khalifah Abbasiyah menandai hancurnya pemerintahan Islam bahkan mulai mundurnya peradaban Islam dalam percaturan Internasional. Dampak dari serangan ini memperluas pengaruh kristen, dengan ditandai dengan pemberian anugerah istimewah kepada kepala keluarga Nestor dan keberpihakan Hulagu terhadap pasukan perang salib dan Hulagu sendiri lebih menyukai warga Kristen dibanding warga Islam.[16] meskipun Pada masa kekuasaan Ghazan Mahmud(1295 – 1304) penerus ketujuh Il-Khan Islam menjadi Agama Negara meskipun kecenderungan kepada mahzab atau sekte Syiah.
            Gambaran singkat dampak serangan pasukan mongol di Kota Baghdad terhadap perjalanan sejarah peradaban Islam. Dimana catatan hitam ini menjadi pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya. Bahkan sejarah ini juga menjadi catatan penting dalam pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya.  Lemahnya solidaritas dan perpecahan adalah sumber kehancuran, sehingga menjadi kesempatan mengundang pihak musuh Islam untuk meleburkan keretakan yang sudah ada.  


BAB V
PENUTUP
Demikianlah analisis singkat tentang kehancuran Baghdad sebagai Ibukota Khalifah Abbasiyah. Puing – puing kemegahan kota Baghdad sebagai pusat kajian khazana keilmuan dan peradaban Islam tinggal kenangan. Selain berakhirnya kekuasaan ke khalifahan Abbasiyah juga menandai mundurnya peradaban Islam dalam percaturan Internasional. Pemusnahan naskah – naskah, manuscript  dan karya para ilmuan tidak hanya hancurnya Baitul Hikma tetapi juga lenyapnya karya – karya monumental para ilmuan terdahulu. Hingga saat ini, ketimpangan pengetahuan begitu terasa ketika literasi- literasi karya ilmuan muslim begitu langkah bahkan bisa dikatakan punah.
            Meskipun dalam perjalanan sejarah, hal yang dianggap musyikil dan tidak terbayangkan, Dimana musuh Islam dalam komando Jhengis Khan dan beberapa keturunan dibawahnya telah meninggalkan catatan hitam bagi umat Islam, namun di generasi selanjutnya bangsa ini pula yang kembali membangkitkan energi dan budaya Islam. Sikap inilah yang menjadikannya sebagai penghancur Islam sekaligus Pahlawan Islam. Meskipun bukan bangsa mongol yang ditakdirkan untuk memulihkan keagungan militer Islam dan menegakkan kembali panji – panji kejayaannya.[17]


DAFTAR PUSTAKA
Amin, Syamsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.
Bakri, Syamsul. Peta Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.
Hitti, Philip.K. History of the Arabs. Edisi ke-sepuluh. Jakarta : PT SERAMBI ILMU SEMESTA. Cet. II ; 2006
Karim, M. Abdul. Islam di Asia Tengah. Yogyakarta: Bagaskara, 2006.
Yatim, Badri. Sejarah Perdaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.


[1] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2010), hlm.147.
[2] Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 281.
[3]Philip. K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Selamat Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 369.
[4] Yatim, Sejarah, hlm. 277-278.
[5] Syamsul Bakri, Peta Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), hlm. 54.
[6] Yatim, Sejarah, hlm. 79-85
[7] M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah ( Yogyakarta: Bagaskara, 2006), hlm.28.
[8] Yatim, Sejarah, hlm.111.
[9] Karim, Islam, hlm.28-29 dan Yatim, Sejarah, hlm. 112
[10] Karim, Islam, hlm. 30-33
[11] Hitti. History. hlm. 616
[12] Ensiklopedia Islam, op.C. Hlm. 242
[13] Ibid. hlm. 619
[14] Ibid. Hal. 620.
[15] Ibid. 518.
[16] Ibid. Hal. 620 - 621
[17] Ibid. Hal. 622.

Tidak ada komentar: