BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Baghdad merupakan pusat pemerintahan dan
peradaban pada masa Bani Abbasiyah. Ibu kota Negara pada awalnya adalah
al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun, pada masa khalifah al-Mansyur ibu kota Negara
dipindahkan ke kota yang baru didirikannya yaitu kota Baghdad yang terletak di
dekat ibu kota Persia, Ctesipon, pada tahun 762 M.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah
menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebagai
pusat intelektual, di Baghdad terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan
ilmu. Di antaranya adalah Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan yang
menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu. Selain itu Baghdad juga sebagai pusat
penterjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa Arab. [1]
Semua kemegahan dan keindahan kota
Baghdad sekarang hanya tinggal kenangan. Semuanya hancur dan hampir tak
tersisa, setelah kota ini di serang dan dibumihanguskan oleh tentara Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pasukan Mongol juga membakar buku-buku yang ada
di perpustakaan yang merupakan gudang ilmu pengetahuan.[2]
Sebagai pusat ilmu pengetahuan dan
peradaban, kehancuran Baghdad tentu memberikan dampak yang besar terhadap
sejarah umat Islam. Jatuhnya kota Baghdad bukan saja mengakhiri khilafah
Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari kemunduran umat Islam. Ketika
Baghdad hancur berbagai khazanah ilmu pengetahuan yang ada di sana juga ikut
lenyap. Dikisahkan bahwa buku-buku yang ada dalam baitul hikmah dibakar dan di
buang ke sungai Tigris sehingga airnya berubah yang asal mulanya jernih menjadi
hitam karena tinta dari buku-buku tersebut.
B.
Pokok Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan
beberapa pokok masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kekhalifahan Bani Abbasiyah sebelum dihancurkan
Mongol?
2.
Siapa bangsa Mongol?
3.
Bagaimana bangsa mongol menghancurkan Baghdad?
4.
Apa dampak dari serangan Mongol tersebut terhadap Peradaban Islam?
BAB II
BANI ABBASIYAH SEBELUM SERANGAN MONGOL
Kota Baghdad adalah ibu kota Negara pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Pada masa kejayaannya, kota Baghdad menjadi
pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa keemasan
kota Baghdad terjadi pada masa khalifah ketiga,
al-Mahdi, hingga khalifah kesembilan, al-Watsiq. Namun lebih khusus lagi pada
masa Harun al-Rasyid
dan al-Makmun anaknya[3].
Khalifah al-Makmun membangun
perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan
tersebut dinamakan dengan Bait al-Hikmah.
Selain itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah biasa. Dua di
antaranya yang paling penting adalah perguruan Nizhamiyah dan Muntashiriyah.[4]
Syamsul Bakri mengutip dari A. Syalabi,
secara umum membagi perkembangan Bani Abbasiyah dalam tiga periode.[5]
Periode pertama dari Abul Abbals sampai al-Watsiq, yaitu periode di
mana kekuasaan berada di tangan khalifah. Para khalifah pada periode ini adalah
ulama yang berijtihad dan mengeluarkan fatwa, pahlawan dan pemimpin militer
yang perkasa serta memiliki kecintaan terhadap intelektual. Periode kedua
dimulai masa pemerintahan Abu Fadl al-Mutawakkil sampai pertengahan khalifah
al-Nashir. Pada masa ini khalifah hanya sebagai simbol, kekuasaan politik mlai
berpindah dari khalifah ke tangan orang-orang Turki, kemudian beralih ke tangan
golongan Buwaihi, dan kemudian berpindah ke tangan Bani Saljuk. Sultan–sultan
kecil sudah memiliki kedaulatan sosial-politik, sedangkan khalifah hanya
sebagai jabatan keagamaan yang sakral. Periode ketiga dimulai sejak pertengahan
al-Nashir hingga akhir Bani Abbasiyah. Periode ini merupakan masa runtuhnya
sultan-sultan kecil dan khalifah sudah memiliki kekuatan kembali hingga
akhirnya diserang pasukan Hulagu Khan dari Mongol di era khalifah Abu Ahmad
Abdullah al-Mu’tashim.
Bani Abbasiyah mulai mengalami
kemunduran ketika pada masa periode kedua, yaitu dimulai ketika masa khalifah
Al-Mutawakkil. Ada banyak hal yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah, di
antaranya adalah:
1.
Lemahnya khalifah
Setelah kekuasaan Bani Saljuk berakhir, khalifah Abbasiyah
tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu. Para khalifah yang sudah
merdeka dan berkuasa kembali wilayah kekuasaan mereka sangat sempit dan
terbatas, yaitu hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah
yang sempit menunjukkan kelemahan politiknya.
2.
Persaingan antar bangsa
Khilafah Bani Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Setelah berkuasa, persekutuan itu tetap
dipertahankan. Orang-orang Persia masih belum puas dan mereka menginginkan sebuah
dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Selain fanatisme karaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa
lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah. Sementara itu, khalifah
mengangkat budak-budak dari Persia dan Turki untuk menjadi tentara atau pegawai.
Hal ini mempertinggi pengaruh mereka terhadap kekhalifahan. Ketika pada masa
al-Mutawakkil, seorang khalifah yang dianggap lemah, kekuasaan dikendalikan
oleh orang-orang Turki dan khalifah hanya dijadikan sebagai boneka. Posisi ini
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia , selanjutnya beralih ke
tangan dinasti Saljuk.
- kemerosotan ekonomi
Bersamaan dengan kemunduran dibidang politik, dinasti Bani
Abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi. Penerimaan negara menurun
disebabkan makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak kerusuhan yang
mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan
diri. Sementara pengeluaran membengkak dikarenakan kehidupan para khalifah dan
pejabat yang bermewah-mewahan. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian Negara morat-marit.
- konflik keagamaan
Munculnya gerakan Zindiq, yang dilatar belakangi kekecewaan
orang-orang Persia, membuat khalifah merasa perlu mendirikan jawatan untuk
mengawasi kegiatan orang-orang tersebut dan memberantasnya. Gerakan ini
mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Ketika mulai
terpojok, mereka berlindung di balik
ajaran Syi’ah. Sehingga banyak aliran Syi’ah yang dianggap ekstrem dan
menyimpang. Syi’ah adalah aliran yang dikenal sebagai aliran politik yang
berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Keduanya, sering terjadi konflik yang
kadang melibatkan penguasa. Selain itu juga terjadi konflik antar aliran dalam
Islam. Seperti konflik antara Mu’tazilah dengan gologan Salaf.[6]
Akibat dari kemunduran dinasti Bani Abbasiyah ini, membuat
mereka sangat rentan terhadap serangan dari luar. Lemahnya para khalifah dan
tidak adanya persatuan di antara umat, mengakibatkan pertahanan negara mudah
ditembus. Sehingga ketika Mongol menyerang Baghdad, mereka dapat dengan mudah
menguasainya tanpa perlawanan yang berarti.
BAB II
BANGSA MONGOL
Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan (Mongolia) yang
membentang dari Asia Tengah sampai Siberia Utara, Tibet Selatan, dan Mancuria Barat serta Turkistan Timur,
bukannya bangsa nomad stepa. Mereka
merupakan salah satu anak rumpun dari bangsa Tartar. Nama Mongol diambil dari
nama tempat asal mereka di Mongolia di mana mula-mula mereka tinggal. Sejarawan
Cina beranggapan bahwa nama Mongol berasal dari bahasa Cina “Mong” (pemberani).[7]
Badri Yatim mengutip dari Ahmad Syalabi menjelasakan bahwa nenek moyang bangsa
Mongol bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tartar dan Mongol.
Mongol mempunyai anak bernama Il-khan, yang melahirkan keturunan pemimpin
bangsa Mongol dikemudian hari.[8]
Orang Mongol sebagaimana bangsa nomad lain, hidup mengembara
berpindah-pindah tempat dan tinggal di tenda-tenda. Kehidupan mereka sangat
sederhana, mereka hidup dengan berburu, menggembala domba, dan budaya perampokan sudah umum dikalangan
mereka. Mereka menyembah matahari dan bintang-bintang, sebagian ada yang
menganut agama Sammaniyah dan Nestoria. Orang-orang Mongol mempunyai watak yang
kasar, suka berperang, dan berani menghadang maut untuk mencapai keinginannya.
Mereka tidak beradab, pejuang, sabar, ahli perang, tahan sakit dari tekanan
musuh yang sangat kuat. Akan tetapi, mereka sangat patuh dengan pemimpin atau
kepala suku mereka.[9]
Pemimpin Mongol yang paling terkenal adalah Chengis Khan. Ia
lahir pada tahun 1162 M di Daeyliun Buldagha, yang terletak di tepi sungai Onon
(Unan), Mongolia. Ayahnya bernama Ishujayi dan ibunya bernama Helena Khatun.
Ishujayi berhasil menyatukan 13 kelompok suku yang ada pada saat itu. Nama asli
dari chengis adalah Temuchin. Pada usia yang masih dini ia telah dinikahkan
oleh ayahnya dengan gadis dari Deshai Chan, dari suku Unghir. Ayah Temuchin
meninggal karena diracun oleh musuhnya dari suku Tartar yang pernah ia bunuh
dalam perang.
Temuchin yang saat itu berusia 13 tahun menggantikan ayahnya
sebagai pemimpin suku. Temuchin melatih pasukannya dengan pelatihan yang keras,
disiplin ketat, dan penuh semangat. Ia dibantu oleh temannya yang bernama
Tugril, yang seterusnya bekerja sama dengan baik untuk menumpas musuh-musuh yang kuat. Dengan
bantuan Tugril, Temuchin berhasil mengalahkan bangsa Tartar. Kemudian ia dapat
mengalahkan suku-suku lainnya. Dengan kemenangan yang bertubi-tubi, akhirnya
tidak ada suku-suku Mongol lain yang berani menentang.[10]
Pada tahun 1206 M, ia mendapatkan gelar Chengis Khan, Raja
Yang Perkasa sebagai pemimpin tertinggi bangsa Mongol. Ia menetapkan
undang-undang yang dinamakan Alyasak atau Alyasah, untuk mengatur kehidupan
rakyatnya. Dalam bidang militer ia mulai menata pasukannya dengan baik. Ia
membagi pasukannya dalam beberapa kelompok besar-kecil, seribu, dua ratus, dan
sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang komandan.
Setelah pasukannya teroganisir dengan baik, Chengis Khan
mulai memperluah daerah kekuasaanya dengan menakhlukkan daerah-daerah lain.
Peking dapat ia kuasai pada tahun 1215 M. Kemudian ia mengincar negeri-negei
Islam. Pada tahun 1209 M ia membawa pasukannya dengan tujuan Turki, Farghana,
dan kemudian Samarkand. Mereka mendapat perlawanan yang keras dari penguasa
Khawarizm, Sultan Ala al-Din. Karena seimbang, akhirnya masing-masing kembali
ke Negerinya. Sepuluh tahun kemudian mereka masuk Bukhara, Samarkan, Khurasan,
Hamadhan, sampai ke perbatasaan Irak. Di Bukhra, ibu kota Khawarizm, mereka
kembali mendapatkan perlawanan dari Sultan Ala al-Din, namun mereka berhasil
mengalahkannya. Di setiap daerah yang mereka lewati, terjadi pembunuhan
besar-besaran. Bangunan-bangunan mereka hancurkan dan sekolah-sekolah dibakar.
Setelah meninggal, Chengis Khan membagi wilayahnya kepada empat
orang anaknya, yaitu Jochi, Chaghtai, Oghtai, dan Touly. Changtai berusaha
menguasai kembali daerah-daerah Islam yang pernah ditakhlukkan dan berhasil
menguasai Khawarizm setelah mengalahkan Sultan Jalal al-Din. Saudara
Chagtai, Touly menguasai Khurasan. Karena kerajaan Islam sudah terpecah belah,
maka dapat dengan mudah ia mengusai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M dan
digantikan putranya Hulagu Khan. Hulagu Khan inilah yang nantinya akan
menghancurkan Baghdad.
BAB III
KEHANCURAN BAGHDAD OLEH BANGSA
MONGOL
Puncak kehancuran baghdad terjadi pada tahun 1258, kehancuran
ibukota mengiringi hilangnya hegemoni arab dan berakhirnya sejarah kekhalifahan
Dinasti Abbasiyah. Meskipun faktor eksternal, serbuan kaum barbar (dalam kasus
ini, Mongol dan Tartar)- begitu dahsyat. Nyatanya Cuma berperan sebagai senjata
pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.[11]
Faktor internal seperti banyak dijelaskan di bab awal lebih berperan sebagai
sebab kehancuran.
Motif Serangan Mongol di Baghdad
1.
Faktor Politik
Pada tahun 615 H. sekitar 400 orang pedagang bangsa Tartar
dibunuh atas persetujuan wali (gubernur) Utrar. Barang dagangan mereka dirampas
dan dijual kepada saudagar Bukhara dan Samarkand dengan tuduhan mata-mata
Mongol. Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Jenghis Khan. Jenghis Khan
mengirimkan pasukan kepada Sultan Khawarizmi untuk meminta agar wali Utrar
diserahkan sebagai ganti rugi kepadanya. Utusan ini juga dibunuh oleh
Khawarizmi Syah sehingga Jenghis Khan dengan pasukannya melakukan penyerangan
terhadap wilayah Khawarizmi.[12]
2.
Motif Ekonomi
Motif ini diperkuat oleh ucapan Jenghis Khan sendiri, bahwa
penaklukan-penaklukan dilakukannya adalah semata-mata untuk memperbaiki nasib
bangsanya, menambah penduduk yang masih sedikit, membantu orang-orang miskin
dan yang belum berpakaian. Sementara di wilayah Islam rakyatnya makmur, sudah
berperadaban maju, tetapi kekuatan militernya sudah rapuh.
Pada peristiwa penyerbuan bangsa mongol yang dipimpin oleh
Hulagu, cucu Jenghis Khan di Kota Baghdad, selain motivasi invasi dan
penaklukan wilayah, penyerbuan ini adalah puncak dari sengketa yang telah
dimulai sejak tahun 1212 M (bab awal). Pada bulan safar 656 H / tahun 1253, Hulagu bersama ribuan
tentaranya membasmi kelompok pembunuh Hasyasyin dan menyerang kekhalifahan
Abbasiyah.[13] Hulagu
mengundang Khalifah al-Musta’shim (1242-1258) untuk bekerjasama menghancurkan
kelompok Hasyasyin Ismailiyah. Tetapi undangan itu tidak mendapat jawaban. Pada
tahun 1256,
sejumlah besar benteng Hasyasyin, termasuk “puri induk” di Alamut, telah direbut.
Pada bulan September tahun berikutnya,
tatkala merangsek menuju jalan raya Khurasan yang termasyhur, Hulagu
mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok
kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah
tetap enggan memberikan jawaban. Pada Januari 1258, anak buah Hulagu bergerak
dengan efektif untuk meruntuhkan tembok ibukota. Tak lama kemudian upaya mereka
membuahkan hasil dengan runtuhnya salah satu menara benteng. Dengan
hancurnya salah satu menara benteng, semakin melemahkan
sisa-sisa kekuatan pasukan Khalifah. Hingga pada tanggal 10 Februari 1258, pasukan Hulagu telah
berhasil memasuki kota.
Khalifah bersama 300 pejabat dan Qadhi menawarkan penyerahan
diri tanpa syarat. Peristiwa ini menurut beberapa
sumber sejarah setelah pengkhianatan wazir khalifah Abbasiyah (wazir al-Qami).
Setelah menyerahkan hadia dan diri tanpa syarat, 20 Februari (sepuluh hari
setelahnya) mereka semua dibunuh. Termasuk Khalifah, keluarga, pejabat, pasukan
dan rakyat Dinasti Abbasiyah. Selama 40 hari
pasukan Hulagu membantai, menjarah, memperkosa wanita, membunuh bayi dan
ibunya, membakar rumah ibadah dan perpustakaan yang dibangun khalifah dan
bangunan – bangunan megah di kota Baghdad.
Peristiwa
ini menjadi sejarah besar dalam peradaban Islam, dan untuk pertama kalinya
dalam sejarah, dunia Islam terbengkalai tanpa khalifah. Kekosongan khalifah
islam membuat umat muslim pada abad ke-13 terhimpit diantara dua kekuatan
besar. Bagian timur umat muslim dihimpit pemanah pasukan mongol yang liar, dibagian barat dihimpit oleh para pasukan
perang salib.
BAB IV
DAMPAK SERANGAN MONGOL TERHADAP
PERADABAN ISLAM
Bangsa mongol meninggalkan catatan hitam
dalam sejarah peradaban islam. Bangsa mongol memang dikenal sebagai bangsa yang
pemberani, keberadaannya, kekejamanya dan kebengisannya mencapai puncak pada
masa kepemimpinan Jhengis khan dan beberapa garis keturunan kebawah. Meskipun
kesalahan – kesalahan itu sebagian dianggap telah ditebus oleh beberapa
keturunannya sebagai pembelah islam dan memberikan energi baru untuk
membangkitkan kembali kebudayaan islam. Namun, hancurnya peninggalan –
peninggalan sejarah tidak bisa terlupakan.
Seperti
dijelaskan pada bab – bab awal, serangan mongol di negeri islam khususnya di
baghdad selain berdampak berakhirnya masa khalifah Abbasiyah, tetapi menjadi
awal kemunduran umat islam terlebih khazana ke-ilmuannya. Secara khusus dampak
serangan mongol terhadap peradaban islam diantaranya :
3.
politik
kehancuran ibukota baghdad sebagai pusat
pemerintahan khalifah Abbasiyah berpengaruh besar terhadap mundurnya peradaban
islam. Kekosongan ke-khalifahan melemahkan kekuatan umat islam, bahkan peradaban
islam banyak dipandang tenggelam setelah diapit diantara dua kekuatan musuh
islam, tentara salib di barat dan pasukan mongol di timur. Namun, anehnya Kota
baghdad tidak semuanya dihancurkan, mungkin hulagu bermaksud menjadikan baghdad
sebagai tempat kediamannya, sehingga tidak dihancurkan seperti kota—kota
lainnya.[14] Pada rezim Il-Khan atau Hulagu, Baghdad
di turunkan posisinya menjadi ibukota provinsi dengan nama Iraq al- Arabi.
4.
sosial
Dampak sosial akibat serangan mongol di
ibukota khalifah abbasiyah tidak jauh berbeda dengan kondisi politiknya.
Pembunuhan massal, pembantaian bayi, anak, wanita, pemerkosaan, penjarahan. Menjadi
catatan hitam umat islam dalam perjalanan sejarah peradaban islam. Kemakmuran
yang perna dicapai pada masa khalifah Harun Al-Rasyd dan anaknya tinggal
cerita.
5.
Pendidikan dan keilmuan
Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah adalah
pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan budaya kecintaan terhadap ilmu
terlihat dari besarnya kontribusi ilmuan masa itu terhadap perkembangan
keilmuan setelahnya. Pembangunan perpustakaan, tokoh buku, sekolah-sekolah,
pusat kajian dan diskusi adalah aktivitas kaum intelektualnya. Pada masa
kehancuran kota baghdad sejarah mencatat kisah pemusnahan buku-buku di Baitul
Hikma yang sebagiannya di buang di sungai Tigris . Hanya beberapa karya yang
sempat diselamatkan. Ibnu Jubayr menyatakan bahwa di Baghdad pada masa itu
terdapat sekitar tiga puluh sekolah.[15]
salah satu sekolah yang selamat dari malapetaka pemusnahan oleh bangsa Mongol
adalah Maadrasah Nizhamiyah dan dari sanalah sejarah dan karya-karya para
ilmuan kembali di hidupkan.
6.
Agama
Kehancuran Khalifah Abbasiyah menandai hancurnya
pemerintahan Islam bahkan mulai mundurnya peradaban Islam dalam percaturan
Internasional. Dampak dari serangan ini memperluas pengaruh kristen, dengan
ditandai dengan pemberian anugerah istimewah kepada kepala keluarga Nestor dan
keberpihakan Hulagu terhadap pasukan perang salib dan Hulagu sendiri lebih
menyukai warga Kristen dibanding warga Islam.[16]
meskipun Pada masa kekuasaan Ghazan Mahmud(1295 – 1304) penerus ketujuh Il-Khan
Islam menjadi Agama Negara meskipun kecenderungan kepada mahzab atau sekte Syiah.
Gambaran
singkat dampak serangan pasukan mongol di Kota Baghdad terhadap perjalanan
sejarah peradaban Islam. Dimana catatan hitam ini menjadi pelajaran berharga
bagi generasi selanjutnya. Bahkan sejarah ini juga menjadi catatan penting
dalam pembangunan sejarah peradaban Islam selanjutnya. Lemahnya solidaritas dan perpecahan adalah
sumber kehancuran, sehingga menjadi kesempatan mengundang pihak musuh Islam
untuk meleburkan keretakan yang sudah ada.
BAB V
PENUTUP
Demikianlah analisis singkat tentang
kehancuran Baghdad sebagai Ibukota Khalifah Abbasiyah. Puing – puing kemegahan
kota Baghdad sebagai pusat kajian khazana keilmuan dan peradaban Islam tinggal
kenangan. Selain berakhirnya kekuasaan ke khalifahan Abbasiyah juga menandai
mundurnya peradaban Islam dalam percaturan Internasional. Pemusnahan naskah –
naskah, manuscript dan karya para ilmuan
tidak hanya hancurnya Baitul Hikma tetapi juga lenyapnya karya – karya
monumental para ilmuan terdahulu. Hingga saat ini, ketimpangan pengetahuan begitu
terasa ketika literasi- literasi karya ilmuan muslim begitu langkah bahkan bisa
dikatakan punah.
Meskipun
dalam perjalanan sejarah, hal yang dianggap musyikil dan tidak
terbayangkan, Dimana musuh Islam dalam komando Jhengis Khan dan beberapa
keturunan dibawahnya telah meninggalkan catatan hitam bagi umat Islam, namun di
generasi selanjutnya bangsa ini pula yang kembali membangkitkan energi dan
budaya Islam. Sikap inilah yang menjadikannya sebagai penghancur Islam
sekaligus Pahlawan Islam. Meskipun bukan bangsa mongol yang ditakdirkan untuk
memulihkan keagungan militer Islam dan menegakkan kembali panji – panji
kejayaannya.[17]
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Syamsul
Munir. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: Amzah, 2010.
Bakri, Syamsul. Peta Peradaban Islam. Yogyakarta:
Fajar Media Press, 2011.
Hitti,
Philip.K. History of the Arabs. Edisi ke-sepuluh. Jakarta : PT SERAMBI
ILMU SEMESTA. Cet. II ; 2006
Karim, M. Abdul. Islam
di Asia Tengah. Yogyakarta: Bagaskara, 2006.
Yatim, Badri. Sejarah
Perdaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
[1] Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2010),
hlm.147.
[2] Badri Yatim, Sejarah Perdaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008), hlm. 281.
[3]Philip. K. Hitti, History of the
Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Selamat Riyadi (Jakarta: Serambi, 2005), hlm.
369.
[4] Yatim, Sejarah, hlm. 277-278.
[5] Syamsul Bakri, Peta Peradaban Islam (Yogyakarta:
Fajar Media Press, 2011), hlm. 54.
[6]
Yatim, Sejarah, hlm. 79-85
[7]
M. Abdul Karim, Islam di Asia Tengah ( Yogyakarta:
Bagaskara, 2006), hlm.28.
[8]
Yatim, Sejarah, hlm.111.
[9]
Karim, Islam, hlm.28-29 dan Yatim, Sejarah,
hlm. 112
[10]
Karim, Islam, hlm. 30-33
[11]
Hitti. History. hlm. 616
[12]
Ensiklopedia Islam, op.C. Hlm. 242
[13] Ibid. hlm.
619
Tidak ada komentar:
Posting Komentar